EKBIS

Uganda Jadi Korban Jebakan Utang China, Indonesia Juga Bisa Kena?

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
Uganda Jadi Korban Jebakan Utang China, Indonesia Juga Bisa Kena?

Uganda Jadi Korban Jebakan Utang China, Indonesia Juga Bisa Kena?

DEMOCRAZY.ID - Ramai kabar soal Bandara Entebbe, satu-satunya bandara internasional di Uganda, diambil alih China gara-gara masalah utang. 


Pemberitaan soal itu muncul di media kawasan Afrika, dan juga di media ekonomi bisnis terkemuka, Bloomberg.


Pengambilalihan bandara tersebut, disebutkan merupakan buntut dari proyek pengembangan bandara tersebut senilai USD 207 juta, yang didanai utang dari China. 


Bloomberg melaporkan, utang setara Rp 3 triliun itu disepakati pada 2015 lalu antara Pemerintah Uganda dengan Export-Import Bank of China.


Proyek pengembangan Bandara Entebbe di Uganda sendiri, merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China. 


Gagasan untuk membangun kembali pengaruh China pada apa yang disebut sebagai 'jalur sutera baru' itu, memicu kontroversi di sejumlah negara.


Menurut Bloomberg, di Sri Lanka, pemerintah pada tahun 2017 setuju untuk menyewakan pelabuhan ke perusahaan yang dipimpin oleh China Merchants Port Holdings Co selama 99 tahun dengan kontrak senilai USD 1,1 miliar.


Apakah Indonesia juga bisa bernasib serupa?


Lembaga riset Amerika Serikat, Aiddata, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penerima utang terselubung (hidden debt) terbesar dari China. 


Utang terselubung China ini mengalir ke sejumlah proyek infrastruktur yang digarap BUMN dan swasta.


Pada rentang 2000-2017, nilainya mencapai USD 34,38 miliar atau dengan kurs saat ini setara Rp 488,9 triliun. 


Adapun proyek yang didanai utang dari China mulai dari bendungan hingga kereta cepat Jakarta-Bandung.


Dari penelusuran kumparan, ada sejumlah mega proyek infrastruktur di Indonesia yang didanai oleh China. 


Mulai dari bendungan hingga kereta cepat Jakarta-Bandung pun didanai dari utang terselubung.


Pertama yakni Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat. Waduk terbesar kedua di Indonesia ini bisa dibangun dengan dana USD 215,62 juta dari CEXIM-China, seperti diungkapkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.


Kemudian Tol Medan-Kualanamu sepanjang 61,8 km. Proyek ini dibiayai utang luar negeri dari CEXIM-China sebesar USD 122,43 juta.


Terbaru yakni kereta cepat Jakarta-Bandung. Dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, disebutkan investasi sebesar USD 5,573 miliar tidak menggunakan APBN dan tanpa jaminan pemerintah. 


Namun akhirnya kini pemerintah ikut mendanai lewat APBN akibat pembengkakan biaya.


Risiko di Balik Utang Terselubung dari China


Utang terselubung dari China dihasilkan melalui skema bisnis dengan BUMN maupun perusahaan patungan dan swasta. 


Utang-utang tersebut memang tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.


Utang terselubung China itu juga tak masuk dalam skema Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. 


Adapun data ULN sepenuhnya bisa diakses publik di Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.


Namun, utang yang dilakukan BUMN, special purpose vehicle (SPV), perusahaan patungan, dan swasta itu bisa juga menyeret pemerintah jika terjadi wanprestasi. 


Hal ini diakui oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo.


"Jika wanprestasi berisiko nyerempet pemerintah,” ujar Prastowo dalam dalam akun Twitternya @prastow, Jumat (15/10).


Terkait utang BUMN yang dijamin, Prastowo memastikan utang ini dianggap kewajiban kontinjensi pemerintah. 


Kewajiban kontinjensi tersebut ini juga tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.


“Ini yang terjadi saat ini: zero default atas jaminan pemerintah,” kata dia.


Kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. 


Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020-2024 sebesar 6 persen terhadap PDB 2024. [Democrazy/kmpr]

Penulis blog