HUKUM

Siapa Bilang Tidak Bisa? Ini Aturan Penegak Hukum Bisa Di-OTT

DEMOCRAZY.ID
November 20, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
Siapa Bilang Tidak Bisa? Ini Aturan Penegak Hukum Bisa Di-OTT

Siapa Bilang Tidak Bisa? Ini Aturan Penegak Hukum Bisa Di-OTT

DEMOCRAZY.ID - Persoalan operasi tangkap tangan (OTT) yang sering dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menjadi perbincangan hangat sejumlah pihak.  


Diketahui, operasi senyap atau OTT memang menjadi salah satu strategi yang digunakan KPK untuk mengungkap tindak pidana korupsi di tanah air.


Metode ini juga masih menjadi senjata ampuh lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi di tanah air.


Terbaru, persoalan ini ramai menjadi perbincangan setelah Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan berpendapat bahwa aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim hendaknya tidak dapat ditangkap melalui instrumen OTT.


Pernyataan tersebut dikatakannya saat diskusi daring bertajuk 'Hukuman Mati bagi Koruptor, Terimplementasikah?', Kamis (18/11/2021).


Arteria beralasan para penegak hukum merupakan simbol negara yang harus dijaga marwah kehormatannya. 


Namun pernyataan Arteria yang menyebutkan bahwa penegak hukum tak semestinya terkena OTT sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.


Tepatnya pada Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap siapa pun yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, termasuk yang melibatkan aparat penegak hukum.


Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Jumat (19/11/2021).


"Faktanya KPK dalam pasal 11 (UU KPK) dinyatakan bahwa wewenang KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan itu untuk aparat penegak hukum dan penyelenggara negara," ujar Ghufron.


Adapun bunyinya sebagai berikut:


"Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:


a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau


b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."


Sehingga dengan melihat pasal 11 UU 30 Tahun 2002 juncto UU 19 Tahun 2019 UU KPK, tidak ada batasan bagi lembaga antirasuah dalam menangani perkara korupsi, bahkan yang termasuk yang melibatkan penegak hukum sekalipun. 


Ghufron juga menambahkan berdirinya KPK salah satunya tugasnya adalah menegakkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.


Selain itu, Ghufron juga menjelaskan upaya paksa tangkap tangan sudah diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Adapun Pasal 1 butir 19 KUHAP berbunyi:


“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.


Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad mengatakan, dalam konteks persamaan di depan hukum, maka siapa pun dapat dikenakan OTT, tak terkecuali para penegak hukum.


"Dalam konteks persamaan di hadapan hukum, sebagaimana warga negara, dapat dilakukan [OTT - red] yang penting sesuai prosedur dan kewenangan dinas," kata Suparji. 


Adapun hal tersebut juga tercantum pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan semua warga negara memilii kedudukan yang sama di dalam hukum. 


Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil tanpa memandang jabatan atau profesinya.


Dengan demikian, OTT dapat dilakukan kepada siapa pun yang yang berdasarkan bukti permulaan cukup telah melakukan tindak pidana korupsi. [Democrazy/ktv]

Penulis blog