EDUKASI

Mereka yang Mendukung Permendikbud 30 Meski Menuai Polemik

DEMOCRAZY.ID
November 10, 2021
0 Komentar
Beranda
EDUKASI
Mereka yang Mendukung Permendikbud 30 Meski Menuai Polemik

Mereka yang Mendukung Permendikbud 30 Meski Menuai Polemik

DEMOCRAZY.ID - Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.


Permendikbud No 30/2021 diteken Mendikbud Riset Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. 


Ketentuan itu kemudian menuai kritik dari berbagai pihak. Namun, ada juga dukungan dari sejumlah pihak terkait hal ini.


Siap Diterapkan di Kampus UIN Dkk


Mendikbudristek Nadiem Makarim hari ini menemui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, membahas Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.


Aturan yang dibuat untuk menekan kasus kekerasan seksual di kampus itu menuai kritik luas dari ormas Islam, karena justru dianggap bisa melegalkan seks bebas.


Dalam pertemuan itu, Gus Yaqut mendukung Nadiem soal Permendikbud 30 dan akan diterapkan di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) seperti UIN dan IAIN.


"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN ," ungkap Gus Yaqut di Kemenag, dalam rilisnya, Senin (8/11).


Untuk mewujudkan dukungan tersebut, Kemenag mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).


Gus Yaqut sepakat dengan Nadiem yang menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional.


"Kita tidak boleh menutup mata, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus," kata Gus Yaqut.


"Ini kebijakan baik. Dengan kebijakan ini, kita berharap para korban dapat bersuara dan kekerasan seksual di dunia pendidikan dapat dihentikan," imbuhnya.


Anggota Komisi X DPR Fraksi PDIP, My Esti Wijayati, tak setuju jika definisi tersebut diartikan sebagai pelegalan zina. Ia mengatakan Permendikbud tersebut justru langkah baik dan cepat mengingat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) belum disahkan.


“Permendikbud ini tidak bisa diartikan sebagai bentuk pelegalan terhadap terjadinya hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan, maupun pelegalan LGBT. Seharusnya Permendikbud ini mendapat dukungan, bukan untuk dipermasalahkan dan meminta untuk ditarik,” kata Esti, Selasa (9/11).


“Langkah cepat sebelum RUU PKS disahkan yang dilakukan Nadiem Makarim melalui Permendikbud ini tentu sudah berdasarkan kajian dan analisa terhadap kejadian-kejadian yang ada di lingkungan kampus,” imbuh dia.


Esti menjelaskan, RUU PKS masih dalam pembahasan di Badan Legislasi DPR RI dan membutuhkan waktu hingga dapat menjadi UU dan dapat diimplementasikan. Sebab itu ia menegaskan, Permendikbud No.30 Tahun 2021 harus diapresiasi.


“Langkah Mendikbud Ristek Nadiem Makarim di dalam mengeluarkan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi mestinya harus diapresiasi. Ini langkah cepat agar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi bisa dicegah lebih dini dan bisa dilakukan penanganan sesegera mungkin jika itu terjadi,” papar dia.


Di sisi lain, Esti mengakui bahwa Permendikbud terlanjur menjadi polemik dan mendapat penolakan dari Komisi X. Tetapi ia mengungkap hingga saat ini belum ada agenda rapat terkait pembahasan Permendikbud No.30 di Komisi X bersama Nadiem.


Minta Diksi Multitafsir Direvisi


Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendukung terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 


Menurutnya, aturan ini diperlukan karena kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa semakin meningkat.


"Saya pada posisi mendukung lahirnya Permen 30 ini karena fakta di lapangan, di kampus kita, tingkat kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa-mahasiswi kita trennya semakin meningkat dari tahun ke tahun, itu catatan. Jadi tren naik dan tingkat kekerasan seksualitasnya juga sangat variatif dan semakin mengkhawatirkan," kata Huda dalam diskusi di DPR, Selasa (9/11).


Selain itu, pelaku kekerasan seksual saat ini juga variatif karena bisa berasal dari mana pun di lingkungan kampus. Dia pun berharap publik tidak menilai aturan ini dapat melegalkan zina tetapi sebagai upaya pencegahan.


"Catatan yang kedua pelakunya pun juga variatif, tadinya dia membayangkan secara etik, moral gitu, ada oknum yang melibatkan dosen, oknum pegawai kampus dan seterusnya dan seterusnya, karena itu saya pada posisi mendukung sepenuhnya Permen untuk mengatur terkait dengan tingkat kekerasan yang semakin tinggi," kata dia.


"Saya kira publik enggak usah jauh-jauh membawa ke sana. Jadi letakkan saja Permen 30 ini sebagai semangat untuk pencegahan," lanjut politikus PKB ini.


Terkait adanya potensi multitafsir dari aturan itu, Huda meminta adanya revisi terbatas yang dilakukan. Ia menjelaskan revisi terbatas dapat dilakukan dengan mengubah diksi tanpa persetujuan korban diubah.


"Apa bentuk revisi terbatasnya kira-kira beberapa diksi misalnya menyangkut soal selama dapat persetujuan, itu saya kira itu diksi-diksi itu dihilangkan. Misalkan di salah satu definisi kekerasan itu misalnya seseorang perlihatkan anunya, tanpa persetujuan itu dianggap kekerasan, kalau persetujuan dianggap tidak kekerasan, diksi ini perlu dihilangkan," ucapnya.


Selain itu, hal lain yang perlu direvisi yakni harus ditautkan kepada norma hukum dan agama yang sudah ada agar bisa dipahami masyarakat.


"Konten yang lain yang perlu direvisi adalah harus ditautkan kepada norma hukum dan kalau perlu juga ditautkan dengan norma agama. Jadi kalau misalnya menyebut definisi terkait dengan kekerasan seksual itu tidak berhenti di situ," ucap Huda.


"Lalu dikembalikan kepada masing-masing. Tapi harus ditautkan kepada norma hukum yang sudah ada, termasuk kalau perlu kalau perlu sampai pada norma agama," tutup dia.


Unpad Sambut Baik Permendikbud 30 untuk Cegah Kekerasan Seksual di Kampus


Universitas Padjadjaran (Unpad) memberi tanggapan atas Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mengenai kekerasan seksual yang menuai polemik belakangan ini.


Aturan itu diketahui sudah diundangkan oleh Kemenkumham pada tanggal 3 September lalu. Terdapat beberapa kalangan yang menentang terbitnya peraturan itu.


Universitas Padjadjaran lewat Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, memandang positif aturan tersebut. Sebab dinilainya memberi dasar aturan bagi kampus untuk mencegah kekerasan seksual.


"Kami melihat positif Permendikbud ini karena memberikan dasar untuk universitas melakukan pencegahan kekerasan seksual secara lebih terstruktur," ungkapnya melalui pesan singkat, Selasa (9/11).


Meskipun, kata dia, Unpad sebelumnya sudah memiliki aturan pencegahan kekerasan seksual yang diatur melalui Peraturan Rektor Unpad Nomor 16 Tahun 2020.


"Permendikbud ini kan konteksnya pencegahan kekerasan seksual. Jadi sudut pandangnya, kalau suka sama suka tidak masuk kekerasan seksual tapi tentu saja tidak berarti melegalkan zina," lanjut dia.


Pihak kampus Unpad juga mengaku sudah menerima sosialiasi terkait Permendikbud tersebut dari kementerian melalui surat dan pertemuan. Namun Unpad belum mensosialisasikan aturan itu ke seluruh mahasiswa Unpad.


"Tapi ke mahasiswa kami belum melakukan," ucap dia.


Terpisah, Ketua BEM Unpad Rizky Maulana mengaku pihaknya belum dapat memberikan tanggapan mengenai aturan tersebut sebelum melakukan diskusi di internal organisasi.


"Kami belum bisa memberikan tanggapan karena masih perlu didiskusikan di internal BEM dan perlu forum terlebih dahulu," kata dia. [Democrazy/kmpr]

Penulis blog