AGAMA

Ini Sosok Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, Sumber Inspirasi Sukmawati Pindah Jadi Hindu

DEMOCRAZY.ID
Oktober 26, 2021
0 Komentar
Beranda
AGAMA
Ini Sosok Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, Sumber Inspirasi Sukmawati Pindah Jadi Hindu

Ini Sosok Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, Sumber Inspirasi Sukmawati Pindah Jadi Hindu

DEMOCRAZY.ID - Prosesi Sudhi Wadani atau upacara perpindahan keyakinan dari Islam ke Hindu dilalui putri mantan Presiden Soekarno, Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri, di Kawasan Sukarno Center Heritage di Bale Agung, Singaraja, Buleleng, Bali, Selasa hari ini (26/10). 


Dari berbagai kesempatan, Sukmawati menjadikan sosok Ida Ayu Nyoman Rai Srimben sebagai sumber inspirasi untuk berpindah keyakinan menjadi pemeluk Hindu. 


Lantas, siapa sebenarnya Ida Ayu Nyoman Rai Srimben ini?


Merujuk data di Dinas Sosial Buleleng dan situs web Kepustakaan Presiden, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben lahir pada tahun 1881 sebagai Warga Negara Indonesia, berasal dari pasangan Nyoman Pasek dan ibunya, Ni Made Liran. 


Nyoman Rai Srimben lahir sebagai anak kedua. Nama aslinya berasal dari kata ‘Sri’ berarti kebahagiaan dan ‘Mben yang bermakna rimbun.


Nama Srimben juga dapat diartikan sebagai limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan. Nyoman Rai Srimben adalah ibunda dari Presiden Indonesia pertama, Soekarno.


Yang menarik, nama Ida Ayu yang menjadi nama depan ibundanya merupakan sebuah gelar yang diberikan langsung oleh Bung Karno karena sudah melahirkan dan membesarkannya.


Ida Nyoman Rai diketahui tinggal dan tumbuh dewasa di suatu daerah yang dikenal dengan nama Banjar Bale Agung, Kabupaten Buleleng. 


Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Nyoman Rai Srimben bersahabat dengan Made Lastri yang kemudian mengenalkannya dengan seorang guru Jawa pendatang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo. 


Keduanya kemudian menikah pada tahun 1897, setelah sebelumnya tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Nyoman Rai Srimben. 


Putri pertama mereka, Raden Soekarmini (juga dikenal sebagai Bu Wardoyo) lahir pada tanggal 29 Maret 1898. 


Mereka kemudian berpindah ke Surabaya. Nyoman Srimben melahirkan Soekarno pada 6 Juni 1901, di sebuah rumah di sekitar pemakaman Belanda, kampung Pandean III, Surabaya. 


Perempuan itu mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual Hindu seperti yang pernah dipelajarinya.


Enam bulan kemudian Srimben harus mengikuti suaminya untuk pindah ke kota kecil di kecamatan Ploso, Jombang. 


Karena faktor kesehatan, Srimben sempat berpisah dengan Soekarno untuk dirawat dan diasuh oleh mertuanya di Tulungagung, Jawa Timur. 


Soekarno ia asuh kembali ketika harus mengikuti suaminya pindah ke Mojokerto. 


Di Mojokerto pula putri sulungnya menikah dan kemudian tinggal bersama suaminya. 


Persoalan muncul ketika Srimben dihadapkan pada kepindahan suaminya ke Blitar sekaligus menghadapi kenyataan Soekarno untuk sekolah di Surabaya. 


Akhirnya ia mengikuti kepindahan suaminya ke Blitar dan Soekarno dititipkan di rumah HOS Cokroaminoto untuk meneruskan sekolah di Surabaya. 


Di Blitar, Srimben tinggal di asrama sekolah yang sekarang menjadi Sekolah Menengah Umum I Blitar dan dipercaya untuk mengelola asrama sekaligus mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut. 


Berita tentang ditahannya Soekarno di Lapas Sukamiskin Bandung, membuat perempuan itu menuju Bandung dan mendatangi Penjara Sukamiskin.


Lantaran buta politik, dirinya langsung bertanya kepada petugas rumah tahanan. 


Bukan jawaban yang diperolehnya melainkan bentakan dan diusir untuk pergi dari rumah tahanan itu.   


Memasuki masa senja, Srimben terus mendampingi suaminya di Blitar sambil tetap menunggu surat, berita Koran atau berita burung yang dibawa saudara atau kenalannya tentang putranya Soekarno baik di dalam maupun di luar tahanan. 


Kehidupan di Blitar kembali bergemuruh ketika Nyoman Rai Srimben mendengar bahwa putranya bercerai dari Inggit Garnasih dan kemudian menikah dengan Fatmawati. 


Hasil pernikahan Soekarno dengan Fatmawati memberikan seorang cucu yang sangat diharapkan oleh Nyoman Rai Srimben dan R. Soekemi. 


Nyoman Rai Srimben dan R. Soekemi menyaksikan kelahiran cucunya di Jakarta. 


Kebahagiaan Nyoman Rai Srimben tidaklah lama karena pada saat berjalan-jalan di Jakarta, R. Soekemi terjatuh dan sakit keras hingga akhirnya meninggal pada tanggal 18 Mei 1945.


Kemudian Nyoman Rai Srimben kembali ke Blitar. Pada hari tuanya ketika Soekarno telah menjadi “orang pertama” di Republik Indonesia, Nyoman Rai Srimben tidak pernah mau menginjakkan kakinya di Istana Negara. 


Nyoman Rai Srimben menjadi pelopor perkawinan campur antar suku, sehingga mungkin memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk menyatukan Nusantara menjadi Republik Indonesia. 


Pada tanggal 12 September 1958, Nyoman Rai Srimben meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan makam putranya Soekarno dan suaminya R. Soekemi Sosrodihardjo. [Democrazy/jpnn]

Penulis blog