POLITIK

China di Dekapan Partai Komunis dan Puncak Film Global

DEMOCRAZY.ID
Oktober 10, 2021
0 Komentar
Beranda
POLITIK
China di Dekapan Partai Komunis dan Puncak Film Global

China di Dekapan Partai Komunis dan Puncak Film Global

DEMOCRAZY.ID - Pemerintah China belakangan ini membuat sejumlah peraturan baru di sejumlah sektor, termasuk industri hiburan. 


Aturan-aturan itu dinilai menjadi upaya Presiden Xi Jinping dalam merestorasi nilai-nilai komunisme yang tampak memudar di masyarakat.


Pemerintah melalui Administrasi Radio dan Televisi Nasional (NRTA) melarang laki-laki berpenampilan gemulai di layar kaca. 


Pemilihan aktor dan bintang dalam sebuah acara atau program harus diatur dan dikendalikan secara hati-hati, dengan kriteria berdasarkan politik dan moral.


Mereka juga mengatur pembatasan bayaran para aktor dan bintang tamu yang harus dilaksanakan secara ketat. 


Para bintang juga diwajibkan berpartisipasi dalam program kesejahteraan publik serta memikul tanggung jawab sosial.


Di tengah marak peraturan-peraturan baru tersebut, aktris China yang amat populer di Indonesia pada 90-an, Zhao Wei atau Vicki Zhao, juga menghilang dari internet di China. Semua jejak kekaryaannya dan informasinya hilang tanpa alasan yang jelas.


Di saat yang sama, beredar pula rumor China sedang menargetkan artis-artis yang juga berkewarganegaraan asing, seperti Jet Li (Singapura), Liu Yifei (Amerika), Nicholas Tse (Kanada), Zhang Tielin (Inggris), Mark Chao (Kanada), Will Pan (Amerika), dan Wang Leehom (Amerika).


Kontrol ketat terhadap industri seni, termasuk pelaku dan kaum intelektual, sesungguhnya sudah berlangsung sejak dinasti Ming dan berlanjut hingga ke era Partai Komunis berkuasa.


Sederet aturan dan lembaga dibuat untuk memastikan rasa cinta pada negara dan komunisme tetap melekat di masyarakat, seperti sensor yang ketat dan kuota bagi film asing. 


Pemerintah juga turun tangan langsung dalam industri perfilman lebih dari satu dekade terakhir.


Sejak 1970-an akhir, istilah main melody film juga populer di China. Istilah itu digunakan untuk mendeskripsikan film-film yang sesuai dan selaras dengan tujuan Partai Komunis China. 


Singkatnya, film-film itu membawa nilai-nilai Partai Komunis China dan menyampaikannya kepada massa.


Pengetatan ke industri dalam negeri itu, dibarengi kebijakan Presiden Xi Jinping yang beberapa tahun terakhir all-out dalam melancarkan diplomasi budaya ke negara lain, di mana film menjadi salah satu tonggak utamanya.


Ia diberitakan sedikitnya mengucurkan US$10 miliar setiap tahun untuk soft power, misalnya saja mendirikan institusi atau lembaga edukasi yang mengajarkan nilai-nilai tentang masyarakat China.  


Upaya-upaya ini membuahkan hasilnya ketika film-film patriotisme serta propaganda bisa berjaya box office lokal.


Misalnya saja Founding of a Republic (2009) yang dibuat untuk merayakan hari jadi ke-60 Republik Rakyat China. Kemudian, film 1921 (2021) yang dibuat dalam rangka 100 tahun Partai Komunis China. Film-film tersebut biasanya bertabur begitu banyak bintang besar dan sineas-sineas ternama.


Tahun lalu, China juga berhasil menyalip pendapatan tahunan box office Amerika Utara dengan kenaikan mencapai US$1,988 miliar pada Minggu (18/10). Sedangkan Amerika Utara mengumpulkan US$1,937 miliar.


Di tengah-tengah keberhasilan itu, berdasarkan analisis pengamat  independen di Beijing, Wu Qiang, pertumbuhan pesat ekonomi China beberapa dekade terakhir memicu peningkatan eksposur masyarakat terhadap dunia luar.


Hal tersebut juga dinilai memicu masyarakat Negeri Tirai Bambu terpapar berbagai pilihan gaya hidup baru. 


Sehingga, penguasa China khawatir nilai komunisme dan kecintaan warga terhadap bangsa semakin menipis.


Sebab, meski kontrol politik dan keamanan tetap ketat terutama terhadap perbedaan pendapat, China mulai menawarkan berbagai kebebasan ekonomi dan sosial sejak akhir 1980. [Democrazy/cnn]

Penulis blog