DEMOCRAZY.ID - Mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir, Usman Hamid, mengungkapkan ringkasan hasil investigasi yang tertuang dalam dokumen penyelidikan.
Dokumen dimaksud sampai saat rezim Joko Widodo saat ini dinyatakan hilang dan publik belum mengetahui laporan tersebut.
Usman menuturkan dokumen itu berisi proses kerja tim dalam mencari fakta di sejumlah lokasi.
Dari mulai tempat kejadian perkara yaitu di dalam penerbangan Garuda sampai dengan di luar tempat kejadian perkara yang disebut sebagai lingkar kedua.
"Lingkar kedua itu orang-orang yang berada di lingkaran manajemen Garuda yang memungkinkan Pollycarpus [mantan pilot] misalnya dapat melakukan apa yang kemudian kita lihat di pengadilan sebagai tindakannya membunuh Munir," ujar Usman dalam diskusi daring, Selasa (7/9).
Pencarian fakta yang dilakukan TPF juga menyasar institusi negara, dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN). Ia menyebutnya sebagai lapis ketiga.
"Penyelidikan itu juga dilakukan di lingkaran lapis ketiga, yaitu di dalam BIN untuk menelusuri dugaan kuat tentang keterlibatan petinggi-petinggi Badan Intelijen Negara di balik pembunuhan terhadap Munir," ucap dia.
Dari tiga lapis tempat kejadian perkara itu, lanjut Usman, TPF mendapat sejumlah temuan.
Salah satu temuan dimaksud terdiri dari kesimpulan TPF terhadap keseriusan kepolisian di dalam menangani kasus.
"Jadi, diceritakan di dalam laporan itu apa saja yang pernah didorong oleh TPF, apa yang ditindaklanjuti oleh kepolisian, apa yang tidak ditindaklanjuti, apa yang menjadi hambatan di dalam kepolisian yang juga terefleksikan dalam bentuk pergantian tim-tim internal kepolisian," tutur Usman.
"Hingga keengganan BIN untuk sepenuhnya membuka akses pada dokumen yang relevan dengan keterlibatan orang-orang BIN, hingga keengganan BIN untuk sepenuhnya menghadirkan mantan-mantan petingginya di hadapan Tim Pencari Fakta," sambung dia.
Usman mengatakan proses penyelidikan itu tidak sempurna, tetapi memperlihatkan sesuatu yang tidak beres di lembaga pemerintah khususnya di BIN dan Garuda Indonesia.
"Tentu kita tidak bisa menyalahkan institusi, yang kita maksud adalah orang-orang yang mengendalikan institusi itu. Garuda di masa itu di bawah kepemimpinan Indra Setiawan [Direktur], dan Badan Intelijen Negara di masa itu," imbuhnya.
Dalam dokumen TPF juga memperlihatkan hubungan antara orang-orang di tempat kejadian perkara, orang-orang di lingkup manajemen Garuda Indonesia, dan orang-orang di dalam BIN.
Menurut Usman, hubungan-hubungan itu terlihat dari surat menyurat yang janggal, sambungan telepon, hingga kesaksian yang diperoleh dari pengakuan sejumlah orang 'kunci' di lingkungan Garuda.
"Termasuk Indra Setiawan yang percakapannya ketika itu terekam bahkan ter-ekspose di dalam sebuah persidangan dan menunjukkan bahwa penempatan orang-orang yang terlibat di dalam pembunuhan Munir di tempat kejadian perkara merupakan kepanjangan tangan dari Badan Intelijen Negara," ucap dia.
Namun, Usman menyayangkan rekomendasi TPF baru dijalankan sebagian. Yakni diprosesnya mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwoprandjono.
"Akan tetapi, rekomendasi untuk memeriksa mantan Kepala BIN, AM. Hendropriyono, tidak ditindaklanjuti," kata Usman.
"Pada titik itulah saya kira usaha untuk mendorong kembali proses hukum misalnya mengajukan Peninjauan Kembali atas dibebaskannya Muchdi Purwoprandjono menjadi keharusan sebenarnya oleh pemerintah," tandasnya.
17 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, dibunuh.
Munir mengembuskan napas terakhir di dalam pesawat Garuda Indonesia yang membawanya ke Amsterdam, Belanda. Hasil otopsi menyimpulkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik.
Pada 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk TPF berdasarkan Keppres Nomor 111 Tahun 2004.
TPF dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Marsudi Hanafi dan beranggotakan sejumlah aktivis.
Setelah tim dibubarkan, hasil penyelidikannya diserahkan ke SBY pada 24 Juni 2005.
Namun, hingga kini, temuan itu tidak kunjung diungkap ke publik. Bahkan, dokumen hasil investigasi TPF dinyatakan hilang.
Pada 2016, Komisi Informasi Pusat (KIP) sempat memutuskan dokumen tersebut merupakan dokumen publik, pemerintah harus membukanya.
Namun, putusan di tingkat banding dan kasasi menyatakan batal putusan KIP dimaksud. [Democrazy/cnn]