EKBIS

GAWAT! Utang RI Diperkirakan Mencapai Rp9.800 Triliun di Akhir Masa Kepemimpinan Jokowi

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
GAWAT! Utang RI Diperkirakan Mencapai Rp9.800 Triliun di Akhir Masa Kepemimpinan Jokowi

GAWAT! Utang RI Diperkirakan Mencapai Rp9.800 Triliun di Akhir Masa Kepemimpinan Jokowi

DEMOCRAZY.ID - Utang Republik Indonesia diprediksi akan tembus mencapai Rp 9.800 Triliun diakhir masa jabatan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).


Pasalnya, posisi stok utang pemerintah awal pandemi, per Maret 2020, telah menembus Rp 5.000 triliun.


Itu disebabkan digulirkanya stimulus untuk melawan pandemi kini, per Juni 2021, menembus Rp 6.500 triliun rupiah.


Demikian disampaikan Direktur Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono dalam keterangannya, Jumat (28/8/2021).


“Setelah pandemi, kecenderungan ini menjadi sangat mengkhawatirkan, dalam 1,5 tahun sejak pandemi, stok utang bulanan pemerintah rata-rata bertambah 102,2 triliun rupiah,” ujarnya.


Kemudian utang tersebut, melonjak 3 kali lipat dari stok utang periode Oktober 2014-Desember 2019 yang berada pada kisaran 35,2 triliun rupiah.


Menurutnya, pada periode pertama pemerintahan Jokowi stok utang pemerintah bertambah 2.155 triliun rupiah.


“Maka pada periode ke-2 (Oktober 2019-Oktober 2024) diproyeksikan stok utang pemerintah akan bertambah 5.043 triliun rupiah,” paparnya.


Ia menyebutkan, lenaikan stok utang pemerintah era Jokowi ini sangat luar biasa bila dibandingkan dengan periode ke-2 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


“Stok utang pemerintah masa SBY ‘hanya’ bertambah 999 triliun rupiah,” ungkap Yusuf.


Ia melanjutkan, melonjaknya beban utang yang kini mencapai 39,4 persen pada 2020 berakar dari rendahnya penerimaan perpajakan.


Ketika ketergantungan terhadap utang semakin meningkat, di saat yang sama, kinerja penerimaan perpajakan justru semakin menurun drastis.


“Dari kisaran 11,4 persen pada 2012, tax ratio (penerimaan perpajakan) terus menurun hingga 8,3 persen dari PDB pada 2020,” terangnya.


Rasio stok utang pemerintah terhadap penerimaan perpajakan melonjak drastis.


Itu dari kisaran 250 persen pada 2015 menjadi kisaran 475 persen pada 2020, jauh diatas batas aman 90-150 persen.


“Tax ratio yang terus melemah, mengindikasikan besarnya potensi pajak yang hilang,” ulasnya.


Di sisi lain, besarnya belanja terikat yang berada di kisaran 11 persen dari PDB, menurut Yusuf mengindikasikan inefisiensi sektor publik yang massif.


“Seluruh penerimaan perpajakan setiap tahunnya bahkan tidak mencukupi sekedar membiayai belanja terikat, seperti belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dan transfer ke daerah,” ujarnya.


Yusuf mengatakan, kesenjangan antara kapasitas fiskal dan beban utang ini berpotensi melebar ke depan.


IDEAS memproyeksikan Tax Ratio akan pulih namun secara perlahan, pada 2024 baru akan beranjak di kisaran 8,6 persen dari PDB.


“Namun di saat ysama, stok utang terhadap PDB meningkat sangat drastis, menembus 50 persen dari PDB pada 2024,” ucapnya.


Dengan kata lain, kata Yusuf berpotensi terbenam semakin jauh dalam jebakan lingkaran utang.


Yusuf menilai pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah spekulatif.


Yaitu bahwa utang akan digunakan kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang.


Dengan begitu, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, akan mampu mengembalikan pokok utang dan sekaligus menutup beban bunganya.


Namun kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak darinya, harus dibayar dengan mahal yaitu berutang kembali.


“Dan di masa pandemi, kegagalan ini semakin masif dengan implikasi lonjakan utang yang sangat mengkhawatirkan,” tuturnya.


“Kegagalan pemerintah menanggulangi pandemi semakin memperparah lingkaran jebakan utang ini,” tandas Yusuf. [Democrazy/pjs]

Penulis blog