AGAMA

Kisah Seorang Biarawati Mualaf, Berawal Cari Kelemahan Islam Namun Justru Berujung Tinggalkan Kristen

DEMOCRAZY.ID
Juli 23, 2021
0 Komentar
Beranda
AGAMA
Kisah Seorang Biarawati Mualaf, Berawal Cari Kelemahan Islam Namun Justru Berujung Tinggalkan Kristen

Kisah Seorang Biarawati Mualaf, Berawal Cari Kelemahan Islam Namun Justru Berujung Tinggalkan Kristen

DEMOCRAZY.ID - Ada banyak kisah mualaf dari belahan dunia ini, begitu pula yang terjadi di Tanah Air Indonesia.


Salah satunya kisah menarik nan haru seorang mantan biarawati bernama Irena Handono.


Bagaimana tidak? Irena Handono tinggalkan Kristen dan menjadi seorang Muslimah berawal dari menantang cari kelemahan Islam.


Irena Handono rupanya ingin membandingkan konsep ketuhanan pada agama Kristen dengan konsep ketuhanan dalam Islam.


Namun, alih-alih menemukan kelemahan yang ia cari, Irena justru jatuh hati pada konsep ketuhanan pada Islam sehingga memutuskan untuk mualaf.


Jika dulu ia mempelajari Islam untuk mengetahui kelemahannya, kini sebaliknya, Irena malah mengakui Islam sebagai agama yang sempurna.


Awal mula Irena Handono menjadi mualaf, yaitu ketika ia berdiskusi dengan dosen di biara soal perbandingan agama terkait konsep keimanan.


Irena yang hobi membaca dan memiliki rasa penasaran tinggi kemudian mengusulkan diri untuk mempelajari Islam langsung dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an.


Tak disangka, dosennya mengizinkan Irena mempelajari Islam dari Al-Qur’an sehingga dengan riang, mantan biarawati itu segera ke perpustakaan untuk meminjam Al-Qur’an tanpa terjemahan.


Alhasil, setelah dibawa pulang, Irena bingung melihat huruf-huruf Al-Qur’an karena sama sekali tak bisa membacanya.


Oleh karena itu, di hari berikutnya, Irene pun memutuskan untuk meminjam Al-Qur’an yang memiliki terjemahan.


“Saya pulang ke biara dan malamnya saya baca Al-Qur’an, tapi cara baca terbalik. Saya buka dari belakang, bukan dari depan, maka saya berjumpa surat Al Ikhlas,” ungkapnya dalam tayangan di kanal YouTube Cinta Quran TV.


“Ini jawaban Allah. Baru baca terjemahan itu saja, saya sudah terkejut. Ini yang mutlak benar. Bagi saya Allahu Ahad, Allah itu Esa, itu ya betul. Enggak mungkin dua, kalau dua (Tuhan) itu ciptaan.”


Konsep Ketuhanan


Konsep ketuhanan di Al-Qur’an itu menurutnya adalah sempurna dan tak terbantahkan.


Sebelum menemukan konsep ketuhanan di Al-Qur’an, ia mengaku didoktrin soal pengandaian berbagai konsep Tuhan yang ada sisi kelemahannya, misalnya konsep Tuhan itu satu dalam segitiga.


Maka dari itu, ia penasaran bagaimana kalau nanti ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maksudnya apakah bisa nanti konsep ketuhanan bisa menjadi segi empat dan artinya Tuhan ada penambahan.


Namun, kala itu Irena dilarang untuk menggugat hal dasar seperti itu karena katanya terlarang dalam dogma.


Irena juga merasa pengandaian Tuhan dengan telur pun punya kelemahan konsep secara logika.


Itu karena jika konsep Tuhan seperti telur, yang mana pasti punya tiga unsur, yaitu kulit, putih, dan kuning telur, maka tak ada satu unsur saja, berarti tak mungkin menjadi konsep telur.


“Jawaban saya kala itu, telur itu kan alami penyusutan, apakah mungkin Tuhan itu susut seperti telur? Artinya tak bisa pengabdian itu dipakai,” jelasnya lagi.


Jadi, kata Irena, konsep Allah tempat bergantung semua mahluk itu benar sekali. Itu karena Allah tak punyai sejarah, tak terikat ruang dan waktu, mandiri, dan tentunya tak perlu bantuan dan tak pula bermitra apa pun.


Irena Handono mengatakan reaksi pertama membaca saksama terjemahan Surat Al-Ikhlas itu adalah jawaban yang selama ini ia cari.


“Pertama baca, saya ah ini bener, ini logic. Ini bener. Dari situ saya makin gali dan lihat berbagai sisi perbandingannya dan pelaksanaannya (konsep ketuhanan Islam). Semakin yakin Surat Al-Ikhlas.”


Irena Handono mengatakan hidayah adalah anugerah dari Allah SWT dan baginya, itu adalah nikmat luar biasa.


Sebab kata dia, ada orang yang sudah diberi hidayah Allah SWT, tetapi justru mencampakkan nikmat hidayah itu.


Irena Handono mengibaratkan hidayah diberi dan manusia sendiri yang menentukan apakah mau terima atau tidak, seperti ibu membuat masakan yang enak menurutnya, kemudian sang anak disuruh dan bisa memilih ingin memakannya atau tidak.


“Hidayah tak ada nilai tandingannya. Hidayah dibandingkan dengan gunung emas, gunung berlian pun tidak tertukar.”


Sebagai informasi, Irena Handono menjadi mualaf sehari sebelum Ramadan sehingga ia serta-merta ritme harus beradaptasi dengan cepat, meski kala itu harus sembunyi-sembunyi dari keluarganya.


“Umi bersyahadat persis sehari sebelum Ramadan dengan disaksikan KH Misbach. Saat itu keluarga belum tahu. Saat sahur tiba, Umi makan buah ataupun roti. Itupun sembunyi-mbunyi. Maka, kalau mi boleh jujur, berbuka dengan air putih adalah menu buka puasa paling nikmat bagi mi,” jelas Irene dalam cuitannya di Twitter pada Selasa lalu, 13 April 2021. [Democrazy/sra]

Penulis blog