POLITIK

Amnesty Internasional: Jokowi Dulu Janji Perkuat KPK, Tapi Kini Justru 'Apatis' Saat KPK Terus Berusaha Dilemahkan

DEMOCRAZY.ID
Juni 08, 2021
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Amnesty Internasional: Jokowi Dulu Janji Perkuat KPK, Tapi Kini Justru 'Apatis' Saat KPK Terus Berusaha Dilemahkan

Amnesty-Internasional-Jokowi-Dulu-Janji-Perkuat-KPK-Tapi-Kini-Justru-Apatis-Saat-KPK-Terus-Berusaha-Dilemahkan

DEMOCRAZY.ID - Amnesty International Indonesia mempertanyakan sikap Presiden Jokowi yang dinilai tidak konsisten tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.


Direktur Eksekutif AAI Usmad Hamid mengatakan, Jokowi dulu sempat berjanji memperkuat lembaga antirasuah. 


Tapi kekinian, realitasnya justru tampak mengabaikan adanya pelemahan KPK.


Usman mengatakan, Jokowi dulu kerap aktif menggandeng KPK untuk mencegah korupsi. 


Misalnya, Jokowi pernah menyambangi KPK untuk berkonsultasi mengenai daftar calon menteri.


Jokowi, kata Usman, juga pernah mengembalikan gitar bas pemberian personel band rock Metallica, Robert Trujillo ke KPK. 


Atas sikapnya pula, Jokowi pernah mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Awards. 


"Kita tahu Jokowi menjanjikan penguatan KPK 10 kali lipat," kata Usman dalam diskusi bertajuk Menyikapi Situasi KPK yang digelar secara virtual pada Selasa (8/6/2021). 


Secara politik, Jokowi juga pernah mengangkat aktivis yang aktif dalam urusan korupsi yakni Teten Masduki menjadi Kepala Staf Kepresidenan (KSP) hingga menjadi Menteri Koperasi dan UKM. 


Bukan hanya Teten, Johan Budi selaku mantan juru bicara KPK juga diangkat Jokowi sebagai juru bicara presiden. 


"Ada banyak lagi gestur-gestur politik yang memberi kesan bahwa Jokowi baik secara pribadi maupun sebagai presiden itu mendukung KPK," ujarnya. 


Tetapi di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi justru menjauhkan sejumlah elite politik yang terindikasi korup dari jangkauan KPK.


Jokowi dianggap Usman membiarkan tidak adanya proses hukum yang benar serta tidak mencegah serangan-serangan terhadap penyidik, penyelidik, anggota serta pimpinan KPK. 


Secara tidak langsung, Jokowi juga seperti ikut mengamini delegitimasi diskursif bahwa di dalam tubuh KPK terdapat orang-orang radikal.


Bahkan, pemerintahan Jokowi membentuk panitia seleksi (pansel) yang tidak kredibel di dalam menghasilkan pimpinan KPK. 


Dalam perjalanannya, Jokowi kerap memperbanyak pengangkatan perwira-perwira polisi aktif yang bersih dari praktik korupsi.


Tetapi di lain sisi, ia juga terus memasukkan perwira-perwira aktif meskipun sudah terindikasi mendapatkan reputasi buruk, contohnya ialah Firli Bahuri yang menjadi ketua KPK. 


Bukan hanya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dianggap Usman kerap mengabaikan suara-suara masyarakat yang menolak revisi UU KPK. Legislasi itulah yang pada akhirnya menjadi senjata pelemahan KPK. 


"Terakhir ia seperti atau bahkan cenderung mengabaikan pelemahan KPK dalam bentuk alih status pada ASN," tuturnya.


Kalau dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), semua tindakan tersebut menggambarkan lemahnya pemerintahan Jokowi untuk memastikan pemberantasan korupsi melalui lembaga KPK.


"Termasuk mewujudkan keadilan sosial, melalui perebutan kembali aset harta negera yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengembalikan uang-uang masyarakat yang dikelola negara dari praktik-praktik korupsi." [Democrazy/sra]

Penulis blog