HUKUM POLITIK

Tanggapi Pidato Kontroversial Bipang Ambawang, Refly Harun: Bukan Soal Hukum, Tapi Etika Seorang Presiden

DEMOCRAZY.ID
Mei 09, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Tanggapi Pidato Kontroversial Bipang Ambawang, Refly Harun: Bukan Soal Hukum, Tapi Etika Seorang Presiden

Tanggapi-Pidato-Kontroversial-Bipang-Ambawang-Refly-Harun-Bukan-Soal-Hukum-Tapi-Etika-Seorang-Presiden

DEMOCRAZY.ID - Pakar Hukum dan Tata Negara, Refly Harun, turut buka suara terkait ramainya pro dan kontra atas pidato Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang mempromosikan ‘Bipang Ambawang’, yang disinyalir sebagai babi panggang. 

Refly Harun kemudian menganalisanya berdasarkan dua sisi, yaitu secara hukum dan etika atau kepantasan. 


“Dari sisi hukum tidak ada yang salah. Namun, jangan lupa kehidupan itu tidak hanya diatur oleh hukum. Hukum itu black and white. Kalau benar artinya tidak melanggar hukum, kalau salah melanggar hukum,” ucapnya, seperti dikutip dari kanal YouTube Refly Harun. 


Sehingga, katanya, Presiden Jokowi yang mengucapkan kata Bipang Ambawang itu tidak salah lantaran dari sisi hukum memang tidak ada yang keliru. 


“Namun, kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi statement seorang presiden tidak hanya diatur oleh hukum tapi juga oleh kepantasan, oleh etika, oleh konteks. Tidak hanya (sekadar) teks,” kata Refly. 


Refly lebih lanjut menjelaskan, pidato Jokowi soal Bipang Ambawang ini kemungkinan persoalannya pada konteks. 


Di mana, pertama, katanya, seperti yang diucapkan oleh Staf KSP, Ali Mochtar Ngabalin, bahwa Presiden Jokowi sudah paham betul Bipang Ambawang adalah babi panggang, sehingga memang tidak salah, mengingat dia adalah presiden seluruh rakyat dan agama. 


“Yang kedua, Presiden tidak sadar bahwa Bipang adalah adalah babi pinggang, seperti yang dikatakan Fadjroel Rachman yang merujuk pada Jipang, makanan ringan yang bukan khas Kalimantan,” tuturnya. 


Sehingga, menurut Refly, jika secara konteks presiden tak paham soal Bipang Ambawang, dan memang ada kesalahan pemahaman, maka yang kesalahan terletak pada pemilihan konten untuk dikomunikasikan kepada publik. 


Namun, katanya, sebaliknya, jika presiden justru sudah paham itu adalah babi panggang, maka dia sendiri tak peka pada konteks. 


Adapun konteks yang dimaksud oleh Refly adalah momentum menjelang Lebaran atau Idulfitri. 


Bahkan, katanya, tidak dikaitkan dengan Idulfitri pun penyebutan babi panggang akan sangat sensitif, jika bukan untuk mempromosikannya di daerah asal makanan itu dibuat. 


“Terkecuali, jika Presiden Jokowi sedang melakukan kunjungan kerja ke Ambawang, itu sangat boleh (diucapkan),” tuturnya. [Democrazy/pkr]

Penulis blog