PERISTIWA

Selain Patungan Beli Kapal Selam, Ternyata Rakyat Indonesia Pernah Ramai Sumbang Beli Pesawat

DEMOCRAZY.ID
Mei 03, 2021
0 Komentar
Beranda
PERISTIWA
Selain Patungan Beli Kapal Selam, Ternyata Rakyat Indonesia Pernah Ramai Sumbang Beli Pesawat

Selain-Patungan-Beli-Kapal-Selam-Ternyata-Rakyat-Indonesia-Pernah-Ramai-Sumbang-Beli-Pesawat

DEMOCRAZY.ID - Ustadz Abdul Somad (UAS) menggalang donasi untuk membeli kapal selam sebagai pengganti KRI Nanggala 402 yang tenggelam pada Sabtu 24 April 2021. 

Donasi tersebut mengatasnamakan Masjid Jogokariyan Jogja.


UAS menilai, perlunya kapal selam sebagai armada penjagaan di laut Indonesia karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan. 


Dan hal tersebut sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.


Namun tahukah Anda, rakyat Indonesia sebelumnya juga pernah berbondong-bondong menyumbang untuk membeli pesawat terbang. 


Adalah rakyat Aceh yang mempunyai peran penting merebut kemerdekaan dari tangan pemerintah kolonial masa itu.


Presiden pertama RI, Ir Soekarno, melakukan lawatan khusus ke Aceh. 


Ia meminta bala bantuan dari masyarakat Aceh melalui ulama karismatik Aceh, Teungku Daud Beureueh.


Setelah mendengar bujukan Si Bung Besar yang menjanjikan Aceh diberi hak menyusun rumah tangga sendiri seuai syariat Islam tanpa hitam di atas putih, sambil terisak-isak, Daud Beureueh kemudian meyakini rakyat Aceh untuk membantu Indonesia.


Mendengar ucapan tokoh agama itu, semangat masyarakat Aceh terbakar untuk memperjuangkan kemerdekaan RI. 


Salah satu hal yang paling familier ialah pemberian sumbangan pesawat terbang Seulawah I dan II untuk Indonesia.


Pesawat bantuan masyarakat Aceh ini juga yang pada akhirnya menjadi cikal bakal kedirgantaraan di Bumi Pertiwi. 


Seulawah menjadi kendaraan Soekarno untuk terbang di dalam maupun luar negeri guna meyakinkan Indonesia mampu merebut kemerdekaan dari para penjajah.


Belum lagi saat ibu kota Republik Indonesia masih di Yogyakarta. Saat kota diduduki Belanda dan Soekarno-Hatta ditawan dalam Agresi Militer II, rakyar Aceh membangun dua pemancar radio. 


Tujuannya untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu. 


Disebut-sebut pembangunan radio untuk mengabarkan, bahwa Indonesia masih ada, dengan bukti Aceh belum dikuasai Belanda.


Begitu juga saat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Padang, Sumatera Barat, dipindah ke Bireuen, Aceh. 


Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya akomodasi pemerintahan darurat saat di wilayah yang kini telah menjadi Kabupaten Bireuen itu.


"Akan tetapi, balas jasa politik yang didapat rakyat Aceh sebaliknya. Pasca-kemerdekaan, mereka (Aceh) cenderung menjadi anak tiri di negeri ini. Misalnya saat Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan meleburnya menjadi bagian Sumatera Utara. Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan rakyat Aceh," seperti tertulis dalam buku 'Soekarno Poenja Tjerita' yang disunting Roso Daras, Senin (3/5/2021).


Jasa masyarakat Aceh untuk kemerdekaan RI tak dapat dihitung. Kisah yang berkembang di masyarakat Aceh, saat memperjuangkan kemerdekaan, rakyat di Tanoh Rencong membantu seluruh kemampuan yang ada. 


Semisal menjual tanah, ternak, hingga harta benda lain serta merelakan dirinya berperang melawan kolonial. [Democrazy/okz]

Penulis blog