POLITIK

Pengamat: Oligarki "Kendalikan" Negara, Kedaulatan Rakyat Susah Terwujud!

DEMOCRAZY.ID
Mei 02, 2021
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Pengamat: Oligarki "Kendalikan" Negara, Kedaulatan Rakyat Susah Terwujud!

Pengamat-Oligarki-Kendalikan-Negara-Kedaulatan-Rakyat-Susah-Terwujud


DEMOCRAZY.ID - Kedaulatan rakyat, kekuasaan hukum, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tak kunjung terwujud karena pemerintahan tidak berjalan di tangan kedaulatan rakyat. Melainkan telah bertahun-tahun dikendalikan oleh oligarki.


Begitu kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat menjadi pembicara kunci di acara diskusi virtual bertajuk "Demokrasi Dalam Cengkeraman Oligarki. Studi Kasus Kalimantan Selatan" yang diselenggarakan oleh Public Virtue Institute, Minggu (2/5).


Oligarki, kata Usman adalah satu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan pemusatan kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya.


“Dan oligarki bisa berarti, satu politik pertahanan kekayaan material, di antara para aktor yang dibekali kekayaan-kekayaan material luar biasa," ujar Usman, Minggu (2/5).


Keunggulan sumber daya material tersebut, kata Usman, menjadikan bentuk kekuatan ekonomi dan politik yang menentukan arah politik Indonesia.


Menurutnya, oligarki mencengkeram Indonesia karena proses demokrasi yang dimulai 22 tahun lalu jauh panggang daripada api. 


Artinya, kata Usman, pengaruh oligarki membuat demokrasi Indonesia tidak sesuai harapan.


"Demokrasi politik kita mundur, demokrasi ekonomi kita semakin luntur," pungkasnya. 


Usman Hamid: Elite Sedang Mengubur Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi


Kekuatan oligarki bukan hanya mengeruk sumber daya alam, melainkan membuat demokrasi mengalami regresi di segala bidang.


Yang terjadi, elite-elite yang mementingkan target ekonomi kerap mempertentangkan sistem demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.


Begitu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam diskusi virtual bertajuk 'Demokrasi Dalam Cengkeraman Oligarkhi. Studi Kasus Kalimantan Selatan' oleh Public Virtue Institute.


"Memberi kesan seolah-olah pilihan demokrasi adalah hambatan bagi tercapainya ekonomi. HAM dikesampingkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, penyelesaian Semanggi dikesampingkan. Dan karena itulah demi ekonomi, demi demokrasi ekonomi, demokrasi politik, dikesampingkan," ujar Usman Minggu (2/5).


Mirisnya, demokrasi ekonomi tidak dijalankan dalam arti sebenarnya, melainkan untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan material dari mereka yang sudah kaya.


"Dan karena itu pula demokrasi ekonomi bisa dengan mudah dikesampingkan," sambung Usman.


Hal itu kata Usman, sudah terjadi di mana-mana. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, ada sekitar 229 dari 270 daerah yang menggelar proses Pilkada Serentak 2020 berasal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki masalah ekspansi industri ekstraktif. 


Seperti tambang, minyak, gas, mineral, batu bara hingga industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit.


"Dan wilayah-wilayah ini terbebani oleh sekitar 4 ribuan izin tambang dengan setidaknya 27 dari 277 proyek strategis nasional dan kompleks industri nikel dan baterai kendaraan listrik itu dibangun."


Usman merasa ada ironi yang terjadi, di mana pola investasi hanya menguntungkan segelintir orang kaya penguasa korporasi melalui konsensi yang diberikan pemerintah.


"Dan pola investasi yang destruktif mengeruk sumber daya alam secara berlebihan. Meminggirkan ruang hidup petani, meminggirkan ruang hidup nelayan dan masyarakat adat dan menimbulkan kerusakan alam, termasuk krisis ekologis yang diperburuk oleh krisis iklim," kata Usman.


Usman berkesimpulan, para elite tidak hanya mempertentangkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, melainkan sedang melakukan berbagai manuver untuk mengubur keduanya.


"Mereka juga sedang melakukan berbagai manuver yang dapat mengubur kedua-duanya, baik itu demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi," pungkas Usman. [Democrazy/rml]

Penulis blog