Pada era orde baru, listus digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang hendak jadi PNS apakah terafiliasi PKI atau paham komunis.
Kini, menurut Sujanarko, metode yang sama justru diterapkan kepada para pegawai KPK yang beralih status menjadi ASN.
"Selamat datang lahirnya litsus seperti orde baru yang secara serampangan me-labelling warga negara tidak bisa dididik wawasan kebangsaan. Ini labelling mirip-mirip tahun-tahun 65 dulu," kata Sujanarko kepada wartawan, Rabu (26/5).
Sujanarko termasuk dalam 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan.
Ia bersama 74 pegawai KPK lainnya kemudian dibebastugaskan berdasarkan SK dari Firli Bahuri.
Selain Sujanarko, sejumlah nama yang dikenal publik juga masuk dalam daftar tersebut.
Mulai dari Novel Baswedan hingga Yudi Purnomo.
Perkembangan terbaru, KPK dan BKN menyatakan 24 pegawai dari 75 pegawai masih bisa dibina.
Meski tak ada jaminan pasti lulus menjadi ASN karena harus mengikuti pendidikan dan tes lanjutan.
Sementara 51 pegawai di antaranya dinyatakan sudah tidak bisa lagi di KPK dan akan diberhentikan per 1 November 2021.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut bahwa berdasarkan keterangan asesor TWK, 51 pegawai itu sudah diberi tanda merah dengan arti tidak bisa dibina lagi.
"Labelling merah tidak bisa dididik ini mengkonfirmasi panitia seleksi ini tidak paham metodologi asesmen berbasis psikometri. Standar psikometri international test semacam ini tingkat akurasinya hanya, reliabelnya, hanya 40 sampai dengan 60%.
Dengan akurasi yang sangat rendah ini, sudah berani-beraninya menyatakan warga negara yang mengabdi bertahun-tahun dinyatakan tidak bisa dididik wawasan kebangsaan," papar Sujanarko.
Ia pun mendorong adanya audit publik terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini.
Hal itu guna menunjukkan apakah benar ada maksud tertentu di balik upaya pemberhentian 75 pegawai itu.
"Ini akan lebih menjelaskan posisi kalau yang 51 diumumkan, atau 24 diumumkan, akan mengkonfirmasi clustering yang ditulis beberapa media yang sengaja disingkirkan, memang sudah ditargetkan, untuk itu perlu didorong audit publik terkait hal ini," papar dia.
Ia berharap masih ada ketegasan dari Presiden Jokowi terkait polemik ini. [Democrazy/kpr]