Oleh sebab itu dia menegaskan bahwa tidak ada sebuah negara yang hancur hanya karena keberadaan miras.
Pernyataan itu diungkapkan Ferdinand melalui akun jejaring media sosial Twitter miliknya.
Melalui kicauan di akun @FerdinandHaean3, dia mengunggah sebuah gambar yang menyatakan bahwa negara penyuka miras malah jadi negara maju, padahal diklaim oleh banyak pihak miras dapat menghancurkan generasi sebuah bangsa.
“Miras diklaim dapat menghancurkan generasi. Yang hobi miras negara Jepang, Eropa, Amerika, Australia, tapi kenapa yang hancur Suriah, Irak, Yaman, dan Afganistan ya?,” bunyi dalam tulisan pada gambar tersebut, dikutip pada Rabu, 3 Maret 2021.
Kemudian melalui cuitannya, Ferdinand mengaku sependapat dengan pernyataan tersebut.
“(Gambar tersebut) Dikirimin teman di WhatsApp, ada benarnya sih!,” ujar Ferdinand.
Ferdinand pun mengungkapkan bahwa sejatinya tidak ada sebuah negara yang hancur hanya karena persoalan atau keberadaan miras di negara tersebut.
Sebaliknya, negara yang gemar mengonsumsi alkohol tersebut malah jadi negara maju.
Dia pun heran dengan sejumlah pihak, terutama yang disebutnya sebagai kadrun lantaran bersikap sok suci dan sempat menyudutkan pernyataan dirinya soal miras.
“Makanya saya bilang belum ada dan tidak ada negara yang hancur karena miras, ehhhh qadrun sok suci ngamuk-ngamuk ke gue,” imbuhnya.
Investasi miras batal gegara komunikasi istana amburadul
Setelah mendengar beberapa masukan Presiden Joko Widodo resmi membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 10 tahun 2021.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat politik dan pegiat media sosial, Eko Kuntadhi menjelaskan penyebab izin investasi miras dibatalkan, yakni karena komunikasi politik istana yang masih terbilang berantakan alias amburadul.
Akbiatnya, kata Kuntadhi pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat tidak dapat tersampaikan dengan jelas.
Selain itu belum lagi ada pihak provakator yang sering memutar balikan fakta. Walhasil komunikasi istana semakin terlihat babak belur.
“Harus diakui, komunikasi politik istana memang sering amburadul. Sebuah pesan sering enggak tersampaikan jelas,” ujar Eko Kuntadhi dalam keterangan tertulisnya, dikutip pada Rabu, 3 Maret 2021.
“Akibatnya sering babak belur menghadapi tukang spin,” sambungnya.
Berbicara soal sejarah, Kuntadhi mengungkapkan bahwa menurut data yang ada, keberadaan minuman beralkohol atau yang kerap disebut minuman keras telah ada sejak 1931, bahkan hingga saat ini sudah ada sebanyak 109 industri.
Di sisi lain sebenarnya masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi alkohol masih terbilang rendah, namun tidak bisa dipungkuri juga bahwa bahan baku pembuatan minuman beralkohol sangat melimpah di tanah air.
“Menurut data sejak 1931, sudah ada 109 izin industri minuman beralkohol di Indonesia. Sementara masyarakat Indonesia sendiri konsumsi alkoholnya rendah. Tapi bahan baku untuk membuat minuman beralkohol berlimpah,” katanya.
Kuntadhi meyimpulkan bisa saja izin investasi miras di Indonesia yang dibatalkan tersebut dipergunakan untuk menambah pendapatan negara melalui ekspor minuman beralkohol.
“Mungkin tadinya dibuka izin baru utk ekspor. Tapi, ya sudahlah,” imbuhnya.
Perpres miras dicabut, artinya kini industri miras boleh di mana saja!
Kuntadhi menilai, dengan pencabutan Perpres No 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka industri miras kini boleh di mana saja.
Padahal sebelumnya dalam Perpes tersebut, kata Kuntahdi, pemerintah hanya mengizinkan investasi di sejumlah daerah seperti Bali, Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Utara.
Itupun soal industri minuman beralkohol atau yang biasa disebut miras apabila memang diperbolehkan investasi di Indonesia harus mengikuti syarat tertentu.
Oleh sebabnya apabila Perpres baru itu dicabut maka bakal kembali kepada aturan yang lama, yakni industri atau usaha miras yang diperbolehkan di mana saja.
“Saya baru baca Perpres No10/2021 tentang Bidan Usaha Penanaman Modal. Lampiran soal industri minuman beralkohol, ada di ‘Industri dengan syarat tertentu’. Investasi baru hanya bisa di Bali, Papua, NTT dan Sulut. Jika dicabut, artinya kembali ke aturan lama. Boleh di mana saja. Ups!,” ujar Eko Kuntadhi. [Democrazy/hops]