KRIMINAL POLITIK

Survei LSI: Kejagung dan Polri Paling Rendah Lakukan Pemberantasan Korupsi

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
KRIMINAL
POLITIK
Survei LSI: Kejagung dan Polri Paling Rendah Lakukan Pemberantasan Korupsi

Survei-LSI-Kejagung-dan-Polri-Paling-Rendah-Lakukan-Pemberantasan-Korupsi

DEMOCRAZY.ID - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil penelitiannya terkait persepsi korupsi dan evaluasi pemberantasan rasuah menurut masyarakat atau pemuka opini (opinion makers). 

Survei dilaksanakan pada 20 Desember 2020 hingga 25 Januari 2021 terhadap 1.000 responden yang dipilih secara acak.


Hasil survei menyimpulkan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)  adalah lembaga paling rendah dalam penanganan kasus korupsi selama dua tahun terakhir. 


Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dinilai efektif dalam penanganan korupsi.   


"Paling banyak dinilai efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi ialah, KPK, kemudian ORI, BPK, Presiden, BPKP, dan Mahkamah Agung (MA)," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam paparan hasil survei melalui virtual, Minggu (7/2/2021).


"Sedangkan lembaga lain lebih rendah yakni Kejaksaan Agung, Polisi, Pemerintah Daerah, dan DPR/DPRD," sambungnya. 


Lebih lanjut dikatakannya, penilaian terhadap kinerja KPK pada saat ini terbelah menurut sejumlah responden. 


"Karena yang puas dengan kinerja KPK sekitar 48%, dan yang tidak puas 51.1%," ujarnya. 


Ia menuturkan, bagi kelompok akademisi lebih banyak menilai sangat puas/puas dengan kinerja KPK. 


"Begitu pula dengan kelompok zona Jawa Barat, Jawa Tengah & DIY, dan lainnya," sambungnya.


Sementara, kata Djayadi, kelompok Ormas dan Media Massa, kemudian zona Sumatera, DKI Jakarta, dan Jawa Timur kebanyakan menilai tidak puas atau sangat tidak puas dengan kinerja KPK.


Akan tetapi, lanjut dia, mayoritas pemuka opini menilai KPK sangat baik dalam menjalankan tugas-tugasnya. 


"Dan yang paling rendah dinilai adalah kinerja KPK dalam tindakan pencegahan, sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi," tuturnya. 


Untuk diketahui, metodologi survei terhadap pemuka opini yang menjadi responden sebanyak 1.008 orang dari 36 kota di Indonesia. 


Responden dipilih karena dikenal sebagai intelektual, tokoh yang memiliki wawasan politik, hukum, atau ekonomi luas, mengikuti perkembangan politik nasional secara intensif, menjadi narasumber media massa, atau aktif terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, atau organisasi. 


Responden datang dari tiga latar belakang, yakni (1) akademisi, (2) LSM/Ormas, (3) media massa. 


Karena tidak tersedianya data populasi Pemuka Opini, maka pemilihan responden tidak dilakukan secara random. 


Pemilihan responden dilakukan secara purposif, terutama dicari dari media massa nasional atau daerah. 


Hasil survei ini lebih mencerminkan penilaian responden, bukan populasi Pemuka Opini pada umumnya di Indonesia. 


Namun karena jumlah responden survei ini banyak, maka hasil survei ini cukup menyuarakan penilaian pemuka Opini pada umumnya. 


Dari 1.008 responden, sebanyak 839 bersedia jika namanya dipublikasikan sebagai responden survei ini. [Democarzy/akrt]

Penulis blog