Meski sebelumnya, diklarifikasi oleh pihak istana melalui Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, terkait video kerumunan yang viral itu.
Ia menyatakan bahwa masyarakat sudah sedari awal berjejer di sepanjang jalan dari Bandara Frans Seda Maumere, sampai ke Bendungan Napun Gete Kabupaten Sikka untuk menyambut Presiden Jokowi.
Namun ia juga menjelaskan ketika mengunjungi NTT, Presiden Jokowi menggunakan mobil dengan bagian atap yang bisa dibuka tutup.
Dengan begitu, Presiden Jokowi menyambut masyarakat melalui 'rooftop' mobilnya. Bey Machmudin mengatakan Presiden Jokowi tidak cuma sekedar menyapa kerumunan massa ketika muncul di atap mobil.
Jokowi juga berupaya mengingatkan kerumunan massa untuk tetap mematuhi protokol kesehatan.
Akan tetapi tetap hal ini mengundang kritikan dari berbagai pihak, meski tak sedikit yang tidak menyalahkan terkait munculnya kerumunan di tengah kunjungannya tersebut.
Tanggapan itu juga muncul dari Wasekjen Komunikasi Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Fathul Bari, di Jakarta, Rabu 24 Februari 2021, ia menilai Presiden Joko Widodo tidak bisa mencontohkan dan menjaga protokol kesehatan dengan baik saat kunjungannya ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada Selasa, 23 Februari 2021.
“Kalau Presiden dan aparat negara terkait saja tidak bisa mencontohkan dan menjaga berjalannya protokol kesehatan dengan baik, maka apa artinya segala upaya penanganan yang menghamburkan dana masyarakat serta memakan banyak korban jiwa?” ujar Fathul Bari.
Tak hanya itu, tetapi ia juga menyampaikan bahwa dengan adanya kejadian tersebut penegakkan hukum terkait protokol kesehatan jadi terasa kurang adil.
“Bahkan penanganan pandemi disertai dengan kasus korupsi serta kasus penegakkan hukum terkait protokol kesehatan yang dirasakan kurang adil oleh sebagian masyarakat,” kata Fathul Bari, seperti dikutip dari laman PKS.
Dalam hal ini ia menyesalkan, kata spontanitas menurut Fathul yang dijadikan sebagai alasan terlalu mengada-ada mengingat tingkat positivity rate Covid-19 di Indonesia berada di kisaran 20 persen.
“Apakah harus seperti itu spontanitas seorang Presiden dari sebuah negara dengan tingkat positivity rate Covid-19 yang sangat tinggi? Padahal standar WHO idealnya positivity rate berada di bawah lima persen,” jelas Fathul.
Maka menurut Fathul, bahwa tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak menjaga segala sesuatu berjalan sesuai dengan protokol kesehatan, terlebih bagi seorang Presiden dan seluruh aparat terkait.
“Yang dilakukan Presiden malah sengaja berhenti dan membagikan suvenir sehingga membuat kerumunan, lalu berdalih masalah itu selesai dengan alasan spontanitas,” kata Fathul.
Kalau spontanitasnya seperti itu, Fathul menyatakan berarti minim sekali kepekaan beliau terhadap tingginya kasus Covid-19 di Indonesia. [Democrazy/pkry]