KRIMINAL PERISTIWA

Reaksi Senator Filep Wamafma Terkait Penegakan Hukum di Papua, Tegas!

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
KRIMINAL
PERISTIWA
Reaksi Senator Filep Wamafma Terkait Penegakan Hukum di Papua, Tegas!

Reaksi Senator Filep Wamafma Terkait Penegakan Hukum di Papua, Tegas!
DEMOCRAZY.ID - Anggota DPD RI Provinsi Papua Barat Filep Wamafma menanggapi pemberitaan yang menyebutkan sejumlah warga dijemput paksa oleh aparat di beberapa kampung di Biak dan Supiori tanpa surat penangkapan sejak tanggal 4-7 Januari 2021. 

Mereka diperiksa di Polsek Warsa Biak Utara dan Polres Sorndiweri-Supiori. 


Menurut Filep, berdasarkan berita yang beredar, penangkapan tersebut disebabkan karena mereka menolak perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) dan dianggap mendukung Deklarasi Pemerintahan dari ULMWP. 


Mereka yang ditangkap ini kemudian diminta membuat pernyataan untuk mendukung kelanjutan Otsus Papua. 


“Dalam konteks hukum acara pidana, sudah menjadi kewajiban polisi untuk memperlihatkan surat tugas serta memperlihatkan surat perintah penangkapan kepada tersangka, yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan dan tempat dia akan diperiksa (Pasal 18 ayat 1 KUHAP),” kata Filep Wamafma dalam keterangan pers pada Senin (11/1/2021).


Tidak hanya itu, menurut Filep, Pasal 18 ayat (3) KUHAP juga menyebutkan bahwa tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. 


“Memang Polisi boleh melakukan penangkapan tanpa surat perintah penangkapan, namun dalam hal tertangkap tangan. Apakah mereka yang ditangkap di Biak dan Supiori itu tertangkap tangan? Alasan penolakan Otsus dan mendukung Deklarasi Pemerintahan dari ULMWP harus dapat dibuktikan terkait tertangkap tangannya itu,” kata Filep Wamafma. 


Oleh karena itu, menurut Filep, dapat dikatakan bahwa penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas, dan/atau surat perintah penangkapan, dan tidak segera memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada pihak keluarga tersangka adalah tidak sah dan dapat di-praperadilan-kan.


Dia juga membaca dari sisi demokrasi bahwa penolakan terhadap Otsus sesungguhnya merupakan bagian dari aspirasi HAM. 


“Bila kita menyimak sejarah HAM, maka yang diperjuangkan adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang dilindungi oleh UU,” katanya.


“Konstitusi sudah menjamin hak asasi setiap orang atas kebebasan mengeluarkan pendapat dalam Pasal 28E ayat (3) jo. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 berjalan beriringan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul,” kata mantan Ketua Sekolah Tinggi Hukum  Manokwari ini.


Lebih lanjut, Filep mengatakan penangkapan terhadap orang-orang yang berpandangan kontra terkait kelanjutan Otsus, merupakan pembungkaman demokrasi, dan sekaligus mengkhianati demokrasi konstitusional. 


“Seharusnya negara memiliki kewajiban generik terkait HAM, yaitu menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fulfil),” katanya. 


Di luar konstitusi, kata Filep, secara hukum internasional disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). 


Semua regulasi tersebut tidak diterapkan di ruang kosong, melainkan diterapkan dalam seluruh bangunan kebangsaan Indonesia. 


“Pembungkaman melalui penangkapan tanpa prosedur merupakan bagian dari pembunuhan kebebasan berpendapat dari Orang Papua,” tegas Filep. 


Secara filosofis, kata dia, UNESCO menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi itu sangat penting dalam demokrasi karena (1) merupakan cara untuk menjamin pemenuhan diri dan potensi manusia, (2) untuk pencarian kebenaran dan kemajuan, (3) agar orang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik, (4) memungkinkan semua lapisan masyarakat dan negara untuk mencapai stabilitas dan kemampuan beradaptasi. 


Landasan filosofis ini mengharuskan adanya tanggapan yang positif terhadap pandangan yang berbeda terkait kelanjutan Otsus. Pandangan positif itu seharusnya mengedepankan aspek dialogis dan bukan represif. 


Dalam pemikiran yang sama, Pasal 45 UU Otsus secara definitif menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.


“Nyawa dari UU Otsus ialah pelibatan sebanyak mungkin Orang Papua beserta HAM yang melekat pada dirinya untuk membangun negerinya sendiri. Hal inilah yang seharusnya dihormati Negara,” kata Filep. [Democrazy/jpnn]

Penulis blog