AGAMA

Pimpinan Muhammadiyah: Slogan ‘Cinta Tanah Air Bagian dari Iman’ Bukan Hadis Nabi, Tapi Perkataan Tokoh Non-Muslim

DEMOCRAZY.ID
Oktober 16, 2021
0 Komentar
Beranda
AGAMA
Pimpinan Muhammadiyah: Slogan ‘Cinta Tanah Air Bagian dari Iman’ Bukan Hadis Nabi, Tapi Perkataan Tokoh Non-Muslim

Pimpinan Muhammadiyah: Slogan ‘Cinta Tanah Air Bagian dari Iman’ Bukan Hadis Nabi, Tapi Perkataan Tokoh Non-Muslim

DEMOCRAZY.ID - Hubbul Wathan Minal Iman bukan hadits Nabi, tapi merupakan pernyataan Butrus Bustani, seorang misionaris Kristen yang sangat terkenal di dunia Arab.


Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Syafiq Mughni MA dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah dengan tema Keberagamaan dan Nasionalisme Kaum Muda yang berlangsung secara virtual, Jum’at (15/10/2021)


Saat memberikan pengantar pengajian itu, Syafiq mengatakan, Butrus Bustani memperkenalkan slogan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) untuk mempromosikan dan menjadikannya sebagai semboyan perjuangannya di Timur Tengah untuk kebangunan bangsa Arab.


“Mungkin lama kelamaan banyak orang menganggap bahwa itu adalah sebuah hadist dari Nabi. Padahal itu adalah dari seorang non-Muslim yang menjadikannya sebagai semboyan perjuangannya di Timur Tengah,” ucap Syafiq.


Ketua PWM Jawa Timur periode 2005-2010 ini mengatakan, tanpa harus terjebak pada menyatakan itu adalah hadits nabi, tanpa harus menjustifikasi dengan hadist nabi, menurutnya cinta tanah air adalah sesuatu yang natural.


“Karena kita butuh tempat untuk bertempat tinggal, kita butuh tetangga untuk bergaul, perlu sahabat sebangsa dan setanah air untuk memperjuangkan nasib bersama melawan segala penjajahan dan kezaliman, maka itu adalah sesuatu natural yang bisa dipahami dan karena itu tidak perlu dipertentangkan dengan ajaran Islam,” tuturnya.


Formula Darul Ahdi wa Syahadah


Terkait dengan kecintaan pada tanah air atau jiwa nasionalisme, Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Tahun 2001-2006 ini menyatakan, Muhammadiyah telah menemukan cara atau formula yang sangat pas di dalam menghubungkan antara keagamaan dan nasionalisme dengan konsep Darul Ahdi wa Syahadah.


“Ini adalah rumusan yang paling bagus, yang menyelesaikan semua perdebatan dan persengketaan sekitar hubungan antara agama dan negara, atau masalah keagamaan atau masalah nasionalisme,” paparnya.


Guru Besar Fakultas Adab, Bidang Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel itu menuturkan, sesungguhnya masalah nasionalisme itu pernah diperdebatkan di kalangan umat Islam karena memang ada problem di sana.


“Dan problem itu adalah sekitar masalah konsep bangsa yang di dalam al-Quran disebut dengan syu’uban wa qabaila yang makna asalnya adalah bangsa dalam arti ras, dan syu’uban dalam arti suku bangsa,” katanya.


Tetapi kemudian, imbuh Syafiq, hal itu mengalami transformasi, dan pada masa modern, sebuah bangsa itu tidak hanya diikat oleh darah, oleh keturunan, tetapi bisa diikat oleh kepentingan bersama, oleh teritorial bersama.


“Sehingga kalau kita lihat pada abad-abad yang lalu, misalnya, bagaimana kecintaan kepada tanah air itu dipromosikan, dikampanyekan, supaya menjadi spirit bagi seluruh bangsa yang ingin merdeka pada zaman itu,” katanya.


Diisi para Kader Muda Muhammadiyah


Dalam pengajian yang dipandu Najih Prastiyo dengan menghadirkan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Ahmad Nadjib Burhani, Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini, dan pendiri Peace Generation Irfan Amalee itu, Syafiq mengaku sangat bergembira karena yang tampil adalah tokoh-tokoh muda, yang masih segar dengan pikiran-pikirannya yang mencerahkan.


“Kalau kita lihat pada Tahun 1930-an, terjadi perdebatan sekitar soal agama, soal Islam, dan nasionalisme dan sangat intens tokoh-tokoh muda zaman itu seperti Muhammad Natsir dan Ir Sukarno secara tajam dan secara intelektual mereka memperdebatkan, berpolemik di media massa untuk mencari rumusan yang terbaik bagi masa depan Indonesia yang dicita-citakan,” terang Syafiq.


Menurutnya, itu adalah suatu proses yang mencerdaskan, yang membuat kita lebih dewasa di dalam mengarungi kehidupan sebagai seorang Muslim dan sebagai warga negara Indonesia.


“Maka sejarah telah mencatat bahwa pikiran-pikiran kaum muda sangat cerdas, sangat mencerahkan, dan karena itu maka tentu kita akan melihat bagaimana pikiran-pikiran muda ini akan memberikan pengetahuan, kesadaran dan pencerahan kepada kita,” ucapnya.


Syafiq mengaku bersyukur, pada pengajian ini warga Muhammadiyah bisa saling bertemu secara virtual dalam rangka memperluas wawasan, meningkatkan kualitas keimanan, keilmuan dan keindonesiaan agar sebagai seorang Muslim dan menjadi warga negara Indonesia bisa menemukan sebuah penyelesaian yang paling baik bagi masa depan.


“Mudah-mudahan lahir pikiran-pikiran yang mencerahkan, sehingga memberikan suasana baru, suasana yang lebih challenging untuk membangun masa depan kita bersama,” ujarnya. [Democrazy/pwmu]

Penulis blog